Dasar Landasan Maslahat
Oleh; A. Muslimin

Mayoritas ulama sepakat bahwa keseluruhan hukum Allah mengandung maslahat bagi manusia di dunia dan akhirat. Sebagaimana mereka sepakat bahwa maqashid al-syari’ah (tujuan puncak syari’at) adalah mewujudkan kebahagiaan atau kemaslahatan hakiki bagi manusia.[1] Pembahasan tentang hukum syari’at tidak dapat dipisahkan dari konsep maqashid al-syari’at tersebut.

Bukti-bukti atau dasar landasan bahwa syari’at sangat memperhatikan kemaslahatan hakiki bagi manusia dapat ditemukan dalam al-Qur’an, al-Hadits dan kaidah-kaidah para fuqaha.

  1. Dalil dari al-Qur’an

Diantara ayat-ayat al-Qur’an yang menjelaskan tentang kemaslahatan antara lain adalah al-Qur’an surat al-Anbiya’ ayat 107.[2] Ayat tersebut menjelaskan bahwa Rasul berfungsi sebagai rahmat bagi seluruh alam. Untuk menjalankan fungsi tersebut tentunya tidak akan terlepas dari pertimbangan maslahat manusia baik ketika di dunia maupun di akhirat. Absurd apabila rahmat timbul tanpa dibarengi dengan maslahat. Kemaslahatan yang ada dalam Islam bukanlah maslahat yang bernilai profan namun selalu mengandung nilai-nilai religius.[3]

Disisi lain maslahat sangat memperhatikan sisi horizontal dan sisi vertikal transedental, seperti dalam ayat al-Qur’an yang menunjukkan adanya hubungan yang sangat erat antara kehidupan manusia dan ketaatan kepada Allah  dan Rasul-Nya.[4] Tentunya yang dimaksud bukanlah kehidupan dalam arti sebenarnya namun kehidupan yang benar-benar berarti dan layak disebut dengan kehidupan ideal. Dengan demikian untuk menuju kehidupan yang sesuai dengan ayat tersebut harus selalu berpegang teguh kepada ajaran-ajaran-Nya. Ini membuktikan bahwa prinsip maslahat yang ada dalam Islam tidak bersifat profan dan keduniawian. Namun suatu bentuk maslahat yang memperhatikan sisi horizontal (antar makhluk) dan vertikal transedental (hamba dengan Tuhannya).

Ayat-ayat yang memberikan alasan sebuah hukum secara partikular. Semisal, didalam al-Qur’an surat al-Baqarah : 185,[5] al-Baqarah : 286,[6] al-Maidah : 6.[7] al-Hajj : 78,[8] dan masih banyak lagi yang lain.

Memelihara agama menempati urutan pertama karena keseluruhan ajaran syari’at mengarahkan manusia untuk berbuat sesuai dengan kehendak dan keridhaan Allah baik soal ibadah dan muamalat. Manusia pada hakikatnya diciptakan untuk beribadah dalam arti luas.[9]

Hal esensial kedua adalah pemeliharaan jiwa. Hanya orang yang berjiwa yang mungkin melaksanakan seluruh ketentuan agama. Artinya, seluruh ketentuan agama hanya bisa dan wajib dilaksanakan oleh manusia yang masih hidup sehat jasmani dan rohani. Begitu pentingnya pemeliharaan jiwa, syari’at mengharamkan pembunuhan.[10]

Namun pemeliharaan jiwa saja tidak cukup karena tidak semua orang yang berjiwa dapat melaksanakan syari’at. Diantara mereka ada yang sedang sakit jiwanya sehingga tidak mungkin memahami ketentuan syari’at menyangkut kemaslahatan. Maka pemeliharaan jiwa harus disertai dengan pemeliharaan akal sehat yang berpikiran jernih. Hanya dengan pikiran sehat dan jernih manusia dapat memenuhi tuntutan syari’ah untuk memahami ayat-ayat Allah sebagaimana Allah memberi perintah dengan kalimat afala tatafakkarun, afala ta’qilun, afala ta’lamun dan sebagainya. Untuk itu, syari’at mengharamkan khamr dan semua yang bisa membunuh kreativitas akal dan gairah kerja manusia.[11]

Kemaslahatan dunia dan akhirat bertujuan untuk menjamin kelangsungan hidup manusia dari generasi ke generasi. Syari’at juga memandang pentingnya naluri manusia untuk berketurunan. Maka, al-Qur’an mengatur hukum keluarga yang mencakup perintah membangun keluarga diatas landasan pernikahan yang sah dan ketentuan kriteria pria dan wanita yang sah dinikahi. Syari’at juga mengatur tentang batasan jumlah istri, nafkah, talak, tata cara menggauli istri dan lain sebagainya.[12]

Syari’at menghendaki kehidupan yang layak dan sejahtera. Maka pemeliharaan harta menjadi salah satu tujuan syari’at, dalam arti mendorong manusia untuk memperoleh dan mengatur pemanfaatan harta. Selain manusia beribadah kepada Allah, tetapi manusia tidak boleh melupakan kehidupan dunia.[13] Keharusan memperoleh harta harus diikuti dengan tidak salah dalam mengelola dan tidak berbuat boros dan berlebih-lebihan.[14]

  1. Dalil dari al-Hadits

Keimanan merambah segala sisi kehidupan manusia. Maslahat yang bernilai sosial meskipun kasat mata tampak sepele dan tak bernilai ternyata termasuk bagian kesempurnaan keimanan seseorang menurut Allah.[15] Hal ini tampak dalam penyebutan menyingkirkan adza’ (benda yang dapat mengganggu) dari jalan. Ini menunjukkan bahwa keimanan yang sempurna hanya tercapai ketika manusia tidak hanya memperhatikan hubungan secara langsung dengan Tuhannya. Lebih dari itu iman sempurna berarti juga memperhatikan nasib sesama, lagi-lagi ini bukti nyata bahwa Islam tidaklah sesempit yang sering dibayangkan.

Kemaslahatan berarti menghilangkan mudharat dan mafsadat. Dengan demikian bahwa Islam memang menyatakan perang terhadap mafsadat.[16] Dharar dalam bahasa Arab berarti mendatangkan mudharat bagi orang lain, sedang dhirar adalah membalas mudharat dengan mudharat.

Paling bermanfaat berarti mewujudkan maslahat bagi orang lain. Keluhuran seseorang yang dapat memberikan manfaat bagi orang lain sebagaimana keagungan maslahat itu sendiri tampak. Seseorang yang memberikan manfaat bagi orang lain secara tidak langsung tentunya dituntut untuk juga mewujudkan maslahat bagi dirinya sendiri.

Dalil lain dari al-Sunnah yang menceritakan tentang kemudahan, yaitu bahwa kesulitan dapat mendatangkan kemudahan. Ini berarti bahwa kesulitan bisa menjadi sebab kemudahan dan memberikan kelapangan diwaktu sempit demi kemaslahatan yang ditujukan kepada umat.[17]

  1. Dalil Kaidah Fiqhiyyah
  1. Pemilahan dosa besar dan dosa kecil

Pembicaraan tentang pemilahan dosa besar dan dosa kecil sudah sangat jelas di dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Pemilahan tersebut tidak memandang besar kecilnya maksiat yang dilakukan oleh seorang hamba kepada Tuhannya. Karena bagi Tuhan maksiat besar dan maksiat kecil tidak mempunyai pengaruh apapun.

’Izz al-Din ibn ’Abd al-Salam mengatakan :

”Tuntutan syara’ untuk melakukan ketaatan yang tertinggi sama dengan tuntutan untuk melakukan ketaatan yang terendah dalam pengertian dan hakikatnya, sebagaimana tuntutannya untuk menghindari kemaksiatan tertinggi sebanding dengan tuntutan untuk menghindari kemaksiatan terendah karena tidak ada selisih antara satu tuntutan dengan tuntutan yang lain. Perbedaan yang ada hanyalah karena memandang unsur mendatangkan manfaat dan menghindarkan mudharat yang terkandung didalamnya. Karena itu ketaatan terbagi menjadi utama dan paling utama memandang kesempurnaan maslahat yang dihasilkan sebagaimana kemaksiatan terbagi menjadi kelas berat dan kelas ringan melihat mafsadat yang ditimbulkan”.[18]

  1. Pencetusan hukum wadh’i[19]

Secara umum kriteria hamba yang terbebani hukum adalah mampu memahami beban hukum tersebut. Kriteria ini terumuskan dalam bentuk syarat baligh dan berakal. Namun pelaksanaan syarat ini secara kaku akan menyebabkan hilangnya unsur maslahat dalam sebagian permasalahan.[20]

  1. Mempertimbangkan kebiasaan yang berlaku[21]

Agama datang bukan dengan misi untuk menghancurkan kebudayaan dan peradaban. Agama datang sebagai penuntun manusia menuju kesempurnaan hidup dan mewujudkan kemaslahatan. Segala tuntunan dan peradaban manusia bila mengandung maslahat tentu akan ditetapkan oleh syara’ baik kebudayaan tersebut berfungsi sebagai tujuan atau hanya perantara. Hal yang lumrah dan masuk akal bila menetapkan hal yang mengandung maslahat.[22]

  1. Kaidah Fiqhiyah

Ada beberapa kaidah fiqhiyah yang berkaitan langsung dengan kemaslahatan.  Kemaslahatan dunia dan akhirat bertujuan untuk menjamin kelangsungan hidup manusia dengan berbagai bentuk kemaslahatan yang bertujuan baik, dengan demikian manusia selalu menginginkan kemudahan dan kelapangan dalam menjalani roda kehidupan.[23]

Dalil-dalil kaidah fiqhiyyah tersebut dapat dipahami bahwa segala sesuatu pasti ada manfaat dan mafsadatnya tergantung bagaimana menggunakan dan memanfaatkan. Menghilangkan kesulitan yang ada pada diri manusia dan keinginan untuk mempermudah bagi mereka dan semua yang berhubungan dengan masalah rukhshah, semuanya menunjukkan pada otentisitas dan disyari’atkannya kaidah-kaidah tersebut.[24]

       [1] Saif al-Din Abi al-Husain Ali Ibn Muhammad al-Amidi, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, (Beirut : Dar al-Kutub al- Ilmiyah) vol III, h. 411

       [2] Firman Allah :

وما ارسلناك الا رحمة للعالمين

Artinya : “Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”. Op.Cit., h. 332

       [3] Muhammad Ibn ‘Ali Ibn Muhammad al-Syaukani, Fath al-Qadir, (Beirut : Dar al-Fikr), vol. III, h. 430

       [4] Firman Allah :

يأيهاالذين امنوا استجيبوا لله وللرسول إذا دعاكم لما يحييكم واعلموا أن الله ييحول بين المرء وقلبه وأنه اليه تحشرون

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan Rasul-Nya apabila menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan”. (QS. Al-Anfal : 24). Ibid, h. 180

       [5]  Firman Allah :

… يريد الله بكم اليسر ولا يريد بكم العسر …

“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”. Ibid, h. 29

       [6] Firman Allah :

لا يكلف الله نفسا إلا وسعها …

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya…”. Ibid.

       [7] Firman Allah :

… ما يريد الله ليجعل عليكم من حرج …

“Allah tidak hendak menyulitkan kamu”. Ibid, h. 109

       [8] Firman Allah :

…وما جعل عليكم في الدين من حرج …

“…Dan Dia (Allah) tidak menjadikan atas kamu suatu kesempitan dalam agama…”. Ibid, h. 342

       [9] Firman Allah :

وما خلقت الجن والإنس إلا ليعبدون

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku” (QS. Al-Dzariyat : 56). Ibid, h. 524

       [10] Firman Allah :

… من قتل نفسا بغير نفس أو فساد في الأرض فكأنما قتل الناس جميعا ومن أحياها فكأنما أحيا الناس جميعا …

“Barangsiapa yang membunuh seseorang, bukan karena orang (yang dibunuh) ini pernah membunuh orang lain, atau pernah melakukan kerusakan di muka bumi, maka sama halnya jika ia membunuh manusia seluruhnya; dan barangsiapa yang menyelamatkan jiwanya maka seolah-olah ia menghidupkan manusia seluruhnya”. (QS. Al-Maidah : 32). Ibid, h. 114

       [11] Firman Allah :

يأيها الذين امنوا إنما الخمر والميسر والأنصاب والأزلام رجس من عمل  الشيطان فاجتنبوه لعلكم تفلحون

“hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamr, judi, berkurban untuk berhala, mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan perbuatan syetan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu, agar kamu mendapat keuntungan”. (QS. Al-Ma’idah : 90). Ibid, h. 124

       [12] Firman Allah :

…فانكحوا ما طاب لكم من النساء مثنى و ثلاث و ربع …

“…Maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi, dua, tiga, empat…” (QS. Al-Nisa’ : 3). Ibid, h. 78

       [13] Firman Allah :

وابتغ فيما ءاتاك الله الدار الأخرة ولا تنس نصيبك من الدنيا…

“Carilah olehmu dalam apa yang diberikan Tuhan kepadamu, yakni kehidupan akhirat, dan jangan sama sekali meninggalkan bagianmu di dunia…” (QS. Al-Qashash : 77). Ibid, h. 395

       [14] Firman Allah :

…ولا تسرفوا إنه لا يحب المسرفين

“Dan janganlah kamu berlebih-lebihan, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan” (QS. Al-An’am : 6). Ibid, h. 147

إن المبذرين كانوا إخوان الشياطين وكان الشيطان لربه كفورا

“Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya”. (QS. Al-Isra’ : 27). Ibid, h. 285

       [15] al-Hadits :

عن أَبى هريرة قال : قال رسول اللَه صلى الله عليه وسلم : الإيمان بضع وسبعون شعبة أفضلها لا إله إلا الله وأوضعها إماطة الأذى عن الطّريق والحياء

شعبة من الإيمان

“Dari Abu Hurairah RA. Ia berkata, Rasulullah Saw bersabda : ‘Iman terdiri lebih dari tujuh puluh cabang. Paling utama adalah la ilaha illa Allah dan yang paling rendah adalah menyingkirkan penyakit (benda yang menyakitkan) dari jalan. Dan sifat malu termasuk iman”. (HR. an-Nasa’i). lihat, Sunan an-Nasa’i, al-Iman wa Syarai’uhu, bab dzikr al-Sya’b al-Iman, (Maktabah al-Syamila, Ishdar al-Tsani) al-Hadits no. 5022.

       [16] al-Hadits :

عن ابن عباس رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلي الله عليه و سلم : لا ضرر ولا ضرار في الإسلام

“Dari Ibn Abbas RA ia berkata, Rasulullah Saw bersabda : tidak boleh mendatangkan mudharat dan tidak boleh saling mendatangkan mudharat”. (al-Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik dalam al-Muwatha’, dari Amru bin Yahya, dari ayahnya secara mursal, dan juga diriwayatkan oleh al-Hakim dalam al-Musytadrak, juga al-Baihaqi dan al-Daruquthni dari Abu Sa’id al-Hudry, dan diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dari hadits Ibnu Abbas dan Ubbadah bin al-Shamith). Diktat Kuliah al-Azhar University, al-Qawaid al-Fiqhiyyah, Op.Cit. h. 155. Lihat, Ibnu Najim, al-Asybah wa al-Nadhair, h. 94. dan al-Syayuti, al-Asybah wa al-Nadhair, h. 92.

       [17] al-Hadits :

الدين يسر احب الدين الى الله الحنيفية السمحة

“Agama itu adalah mudah, agama yang disenangi Allah adalah agama yang benar dan mudah” (al-Hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Abu Hurairah). Dan juga al-Hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Anas sebagai berikut :

يسروا ولا تعسروا

“Mudahkanlah dan jangan mempersulit”.

       [18] ’Izz al-Din ibn ’Abd al-Salam, Op.Cit. h. 19

       [19] Dalam Islam hukum terbagi menjadi dua :

  1. Hukum Wadh’i yaitu khitab Allah yang berisi tentang menjadikan sesuatu sebagi sebab, syarat atau mani’ berlakunya sebuah hukum. Atau boleh dikatakan, ketentuan yang menjadi sebab sah batalnya ataupun kewenangannya suatu perbuatan.
  2. Hukum Taklifi yaitu khitab Allah yang menuntut mukallaf untuk melakukan atau meninggalkan sebuah perbuatan atau memberikan hak pilih antara melakukan atau meninggalkan.

       [20] Sebagai contoh, sebuah benda yang dirusak oleh anak kecil. Menurut hukum taklifi tidak ada kewajiban bagi anak untuk memberikan kompensasi. Tentunya ini akan merugikan pemilik barang. Disinilah letak peran hukum wadh’i. Dengan memakai pola hukum wadh’i, permasalahan perusakan anak kecil dapat teratasi. Karena dalam hukum wadh’i merusak dianggap sebagai sebab kewajiban memberikan kompensasi tanpa melihat subyek tindakan tersebut. Dengan demikian maslahat si korban tidak terabaikan. Ini menunjukkan bahwa hukum-hukum syari’at secara tuntas telah mengakomodir segala unsur maslahat bagi seorang hamba ketika ia berinteraksi sosial atau hubungan dengan Tuhan.

       [21] Sebagaimana dalam salah satu kaidah-kaidah pokok ushul fiqh : العادة محكمة   “Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum”.

       [22] Abdullah Darraz menjelaskan ada kemungkinan budaya yang berlaku di tanah Arab pada masa Nabi Saw adalah warisan dari ajaran Nabi Ibrahim AS. Sehingga kemungkinan beberapa bagian dari tradisi tersebut merupakan syari’at Nabi Ibrahim. Karena itu, Islam datang untuk memurnikan ajaran-ajaran yang telah diselewengkan atau merevisi beberapa bagian yang sudah tidak sesuai dengan prinsip maslahat. Lihat Abdullah Darraz, Syarh al-Muwafaqat, (Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2004), cet. Ke-I, h. 263.

       [23] Kaidah-kaidah :

المشقة تجلب التيسير

“Kesulitan menyebabkan adanya kemudahan”

الضرر يزال

“Kemudharatan itu harus dihilangkan”

الضرورات تبيح المحظورات

“Kemudharatan-kemudharatan itu membolehkan hal-hal yang dilarang”

اذا تعارض مفسدتان روعي اعظمهما ضررا بارتكاب اخفها

“Apabila ada dua mafsadat yang saling bertentangan, maka diperhatikan mana yang lebih besar mudharatnya dengan dikerjakan yang lebih ringan mudharatnya”

الحاجة تنـزل منزلة الضرورة عامة كانت ام خاصة

Hajat (kebutuhan) itu menempati kedudukan dharurat, baik hajat umum (semua orang) ataupun hajat khusus (satu golongan atau perorangan)”

       [24] Lihat Abdul Aziz Muhammad Azam dan Ahmad Muhammad al-Hasyri, al-Qawaid al-Fiqhiyyah “Dirasah ‘Amaliyah Tahliliyah Muqarranah”, (Diktat kuliyah Universitas al-Azhar Kairo Mesir), h. 133-243.