Oleh : A. Muslimin

Manusia dalam menjalankan ekonomi atau ingin menjalankan bisnis, manusia harus mengetahui dengan baik hukum agama yang mengatur agar tidak melakukan aktivitas yang haram dan tidak merugikan masyarakat. Hukum Islam memiliki peraturan, undang-undang dan tata krama. Khalifah ke empat Imam Ali Kw pernah mengatakan ”Hukum dahulu, baru berbisnis”.[1] Bahkan dalam bekerja dan berbisnis wajib bagi setiap Muslim untuk memahami bagaimana transaksi agar tidak terjerumus dalam jurang keharaman atau syubhat hanya karena ketidaktahuan.

Islam lahir dalam lingkungan perdagangan atau hukum ekonomi Mekkah, Islam menekankan kebaikan-kebaikan perdagangan sekaligus memberikan hukuman bagi seseorang yang melakukan praktek tidak jujur dan berusaha memperoleh kekayaan dengan cara tidak adil. Sesungguhnya prinsip akhlak mengharuskan keterikatan seorang produsen muslim dengan akhlak mulia dan menjauhi akhlak buruk yang membahayakan disebabkan proses produksi, kebohongan, kecurangan, merugikan orang lain dan lain-lain.[2]

Semua itu adalah realitas yang cukup dikenal tentang baik dan buruk dalam watak manusia, sebab itulah dalam terminologi al-Qur’an, hal yang baik dinamakan al-ma’ruf dan yang buruk dinamakan al-munkar dengan perkataan lain al-ma’rufat dikenal sebagai hal yang disukai oleh setiap manusia dan al-munkarat sebagai hal yang tidak disukai oleh manusia.[3]

Umat Islam pada permulaannya dalam menegakkan aturan tentang hukum ekonomi dan mencegah terjadinya berbagai penyimpangan, menawarkan konsep hisbah[4]. Ruang lingkup hisbah mencakup hak-hak Allah dan hak-hak manusia. Artinya hisbah mencakup semua sisi kehidupan,[5] baik yang berhubungan dengan Allah yang diatur dalam bidang ibadah maupun yang berhubungan dengan sesama manusia yang diatur dalam bidang muamalat dalam arti luas, baik yang bersifat perorangan maupun yang umum.

Pada era sekarang, hukum Islam membedakan antara ibadah dan muamalat dalam cara pelaksanaan dan perundang-undangannya. Ibadah pokok asalnya adalah statis, maksudnya hanyalah semata-mata menghambakan dan mendekatkan diri kepada Allah. Berbeda dengan muamalat, pokok asalnya adalah merealisasikan kemaslahatan manusia dalam pencarian dan kehidupan dan melenyapkan kesulitan mereka dengan menjauhi yang batal dan yang haram.[6]

Para pakar dalam bidang hukum telah menggariskan dasar-dasar dalam aspek muamalat dan segi ibadat.[7] Menurut kalangan Syafi’iyah; [8] hukum asal dalam segala sesuatu adalah boleh, sampai ada dalil yang mengharamkan. Sedangkan menurut Abu Hanifah;[9] hukum asal dalam segala sesuatu adalah haram, sehingga terdapat dalil yang menunjukkan kebolehannya.

Kedua dasar tersebut sepintas memang saling bertentangan satu sama lain, tetapi apabila dipadukan dengan cara membedakan tempat berlakunya, sama sekali tidak bertentangan. Dasar yang dikemukakan oleh Syafi’iyah berlaku untuk aspek muamalat dan dasar yang dikemukakan oleh Abu Hanifah berlaku khusus pada segi ibadah.

       [1] Muhammad Husaini Bahesyti dan Jawad Bahonar, Intisari Islam; Kajian Komprehensif tentang Hikmah Ajaran Islam, Penerjemah Ilyas Hasan, (Jakarta : Gema Insani Press, 1991), h. 419-420

      [2] Jaribah bin Ahmad al-Haritsi, Fiqih Ekonomi Umar bin al-Khatab (Al-Fiqh al-Iqtishadi li Amril Mukminin Umar Ibn al-Khatab), Penerjemah, Asmuni Salihin Zamakhsyari, (Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 2006), h. 74-75

 

       [3] Abu al-A’la al-Maududi, Pokok-pokok Pandangan Hidup Muslim, Penyalin Osman Raliby, (Beirut : Dar al-Qur’an al-Karim, 1980), h. 42-43

 

       [4] Hisbah adalah nama jabatan di Negara Islam, dimana pejabatnya merupakan pengawas terhadap para pedagang dan profesional untuk mencegah mereka dari kecurangan dalam pekerjaan dan produksi mereka dengan menggunakan takaran dan timbangan yang benar. Seringkali mereka menentukan kepada mereka tentang harga barang mereka. (Lihat. Samir Aliyah, Sistem Pemerintahan, Peradilan dan Adat dalam Islam (Nidzam al-Daulat wa al-Qadha wa al-Urf fi al-Islam), Penerjemah, Asmuni Solihin Zamakhsyari, (Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 1997), h. 70

 

       [5] Jaribah bin Ahmad al-Haritsi, Op.Cit., h. 588

       [6] Ahmad Muhammad al-Assal, Fathi Ahmad Abdul Karim, Sistem Ekonomi Islam; Prinsip-Prinsip dan Tujuan-tujuannya (al-Nadzam al-Iqtishad fi al-Islamy; Mabadi’uhu wa Hadafuhu), Penerjemah, Abu Ahmadi dan Anshari Umar Sitanggal, (Surabaya : Bina Ilmu, 1980), h. 179

 

       [7] Abdullah bin Sa’id Muhammad Ubbady al-Lahjiy, Iidhah al-Qawaid al-Fiqhiyah, (Singapura : al-Haramain, 1968), h. 21

 

       [8]الأصـل في الأشــياء الإباحـة حتى يـدل الدليل على التحــريم

 

       [9] الأصـل في الأشــياء التحــريم حتى يـدل الدليل على الإباحـة