Oleh : A. Muslimin

Masa klasik dan pertengahan ini merupakan masa-masa yang cemerlang karena meninggalkan warisan intelektual yang sangat kaya. Fase ini dimulai pada abad ke-11 sampai dengan abad ke-15 Masehi. Para cendekiawan muslim pada masa ini mampu menyusun suatu konsep tentang bagaimana umat melaksanakan kegiatan ekonomi yang seharusnya berlandaskan al-Qur’an dan al-Hadits. Pada masa ini kekuasaan Islam terbentang dari Maroko dan Spanyol di Barat hingga India di Timur telah melahirkan berbagai pusat kegiatan intelektual.[1]

Pemikir Islam pada masa ini antara lain al-Ghazali (w. 505 H/1111 M). Fokus utama al-Ghazali tertuju pada perilaku individual yang dibahas secara rinci dengan merujuk pada al-Qur’an, al-Hadits, Ijma’ Sahabat dan Tabi’in. Menurutnya, seseorang harus memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya dalam rangka melaksanakan kewajiban beribadah kepada Allah. Seluruh aktivitas kehidupannya, termasuk ekonomi, harus dilaksanakan sesuai dengan syari’ah Islam, tidak boleh bersifat kikir dan juga tidak boleh bersifat boros dalam melaksanakan kegiatan ekonomi.[2]

Al-Ghazali juga menekankan kepada para penguasa untuk selalu memperhatikan kebutuhan rakyat dan tidak berbuat aniaya kepada mereka serta selalu menyediakan pertolongan dengan menyediakan makanan dan uang dalam perbendaharaan nagara. Bidang kegiatan ekonomi yang juga disoroti oleh al-Ghazali adalah mengenai evolusi pasar, pajak dan peredaran uang serta memberikan penjelasan tentang larangan riba fadl dan mengutuk para penimbun uang.

Berbeda dengan al-Ghazali, Ibnu Taimiyah (w. 728 H/1328 M) selain mendiskusikan tentang berbagai hal yang berkaitan dengan perilaku ekonomi individu dalam kontek hidup bermasyarakat, Ibnu Taimiyah lebih memfokuskan bahasan ekonomi pada masyarakat, fondasi moral dan bagaimana mereka harus membawakan dirinya sesuai dengan syari’ah.[3]

Sistem keadilan yang dibawa oleh Ibnu Taimiyah diterapkan dalam sistem transaksi ekonomi selain menekankan pada moral yang harus dilaksanakan dan diperintahkan oleh agama dengan tidak adanya kecurangan, tidak mengambil keuntungan sendiri.

Ekonomi dalam pandangan al-Syatibi (w. 790 H/1388 M) dapat meliputi tentang hak milik, pajak dan pandangannya tentang teori ekonomi. Pada dasarnya, al-Syatibi mengakui hak milik individu. Namun, al-Syatibi menolak kepemilikan individu terhadap setiap sumber daya yang dapat menguasai hajat hidup orang banyak. Al-Syatibi menegaskan bahwa air bukanlah obyek kepemilikan dan penggunaannya tidak bisa dimiliki oleh seseorang. Lebih jauh al-Syatibi menyatakan bahwa tidak ada hak kepemilikan yang dapat diklaim terhadap sungai dikarenakan adanya pembangunan dam.[4]

Pemungutan pajak dalam pandangan al-syatibi, harus dilihat dari sudut pandang maslahat. Pemeliharaan kepentingan umum secara esensial adalah tanggung jawab masyarakat. Dalam kondisi tidak mampu melaksanakan tanggung jawab ini, masyarakat bisa mengalihkannya kepada Baitul Mal serta menyumbangkan sebagian kekayaan mereka sendiri untuk tujuan tersebut. Oleh karena itu, pemerintah dapat mengenakan pajak-pajak baru terhadap masyarakat dan rakyatnya, sekalipun pajak tersebut belum pernah dikenal dalam sejarah Islam.[5]

Al-Maqrizi (w. 845 H/1441 M) melakukan studi khusus tentang uang dan kenaikan harga-harga  yang terjadi secara periodik dalam keadaan kelaparan dan kekeringan. Selain kelangkaan pangan secara alami oleh kegagalan hujan, al-Maqrizi mengidentifikasi tiga sebab dari peristiwa ini, yaitu korupsi dan administrasi yang buruk, beban pajak yang berat terhadap para penggarap dan kenaikan pasokan mata uang.[6]

       [1] Adiwarman, Op.Cit. h. 18

       [2] Ibid.

 

       [3] Ibid, h. 20

       [4] Muhammad Khalid Mas’ud, Filsafat Hukum Islam : Studi tentang Hidup dan Pemikiran al-Syatibi, (Bandung : Penerbit Pustaka, 1996), cet. Ke-I, h. 136

 

       [5] Ibid, h. 138-139

       [6] Adiwarman, Op.Cit. h. 21